Name : Annisa Nadyastiti
NPM : 11614383
Class : 4SA01
Link : http://www.thehindu.com/todays-paper/tp-in-school/our-english-teacher-is-called-robin/article23337969.ece
[Source Text]
Our English Teacher
is called Robin
Our
English teacher is called Robin. After all, what’s in a name? He had learned
that man cannot live by bread alone. He had married a woman who knew that the
way to a man’s heart is through his stomach. He was fat.
Robin decided it was never too late to learn.
He became an English teacher. He remembered his father’s comment: those who
can, do; those who cannot, teach. Oh, he thought, there’s no fool like an old
fool. He ignored his father, and took up ELT. Never mind, he thought, the love
of money is the root of all evil. Well, the best things in life are free! His
inner voice said, name one! Robin responded quickly - health is better than
wealth. Remember, you can’t take money with you when you die. The inner voice
continued to torment him. “You haven’t any money to take! All that glitters is
not gold, Robin retorted. But you haven’t anything that glitters either,
continued the voice. Robin didn’t rise to the bait this time.
Robin settled into a semi-comfortable life. He
tried his best - if a job is worth doing, it’s worth doing well. He was a
stickler for punctuality: After all, it’s the early bird that catches the worm,
right? His approach was not shared by the class, in spite of his telling them
that early to bed and early to rise, makes a man healthy, wealthy and wise.
Their attitude was: better late than never. Robin’s encouragement of ‘a
stitch in time saves nine’ always fell on deaf ears. There are none
so deaf as those who will not hear, he thought.
Robin detested noise. ‘Silence is Golden’
he would shout, followed by ‘do as I say, not as I do’. He then explained: a
still tongue makes a wise head, while empty vessels make the most
sound. ‘Remember’ he said, thinking of grammatical accuracy, ‘least
said, soonest mended’. By way of encouragement, he added, ‘ask a
silly question, you’ll get a silly answer’.
Robin had other problems. He did not
understand group work. What is the method here, he wondered, though he admitted
that there
was more than one way to skin a cat. Still, he gave it a try. If at
first you don’t succeed, try, try, try again. He agreed that practice
makes perfect. But practice in what? His students seemed to have
adopted the motto ‘ignorance is bliss’. He lectured them to make
hay while the sun shines, and strike while the iron is hot.
As soon as he left the room, they put this into practice. It was a matter of when
the cat is away, the mice will play.
Robin returned to uproar. This increased when
he explained that he had forgotten to mark the homework. It never rains but pours,
he thought. ‘I know’ he said, ‘take your essays and mark each other’s’. Silence
followed, and he started to congratulate himself. But his inner voice cautioned
him - don’t count your chickens before they are hatched. But
think of the advantage, countered Robin, many hands make light work.
Ah, but too many cooks spoil the broth, replied the voice.
The students finished their task, and called out
the marks they had given each other. They were all the same! Seeing
is believing, Robin muttered. But, after a while, he gave up. It
was a matter of once bitten twice shy. He knew: if you want a thing done
well, do it yourself. Robin’s students, on the other hand, were complimenting
each other - great minds think alike!
Dismissing them, Robin admonished himself- look
before you leap next time. Then looking at his watch, he noticed
how time flies. He rushed along to the staff room, where birds of a feather flock
together. He discussed his teaching problems with the staff
members. He said, “I don’t believe the pen is mightier than the sword.
If
you spare the rod you’ll spoil the child.”
“No way,” said the other teachers. “Love
conquers all.”
[Google Translate Version]
Guru
Bahasa Inggris kami disebut Robin
Guru bahasa Inggris kami disebut Robin. Lagi pula,
apa nama itu? Dia telah belajar bahwa manusia tidak dapat hidup dengan roti
saja. Dia telah menikahi seorang wanita yang tahu bahwa jalan menuju hati pria
adalah melalui perutnya. Dia gemuk.
Robin memutuskan tidak pernah terlambat untuk
belajar. Ia menjadi guru bahasa Inggris. Dia ingat komentar ayahnya: mereka
yang bisa, lakukan; mereka yang tidak bisa, mengajar. Oh, pikirnya, tidak ada
orang bodoh seperti orang tua bodoh. Dia mengabaikan ayahnya, dan mengambil
ELT. Tidak apa-apa, pikirnya, cinta uang adalah akar dari semua kejahatan. Yah,
hal terbaik dalam hidup itu gratis! Suara batinnya berkata, sebutkan satu!
Robin merespon dengan cepat - kesehatan lebih baik daripada kekayaan. Ingat,
Anda tidak dapat membawa uang ketika Anda mati. Suara batin terus menyiksanya.
“Anda tidak punya uang untuk diambil! Semua glitter itu bukan emas, balas
Robin. Tetapi Anda tidak memiliki apa pun yang berkilau, lanjut suara itu.
Robin tidak naik ke umpan kali ini.
Robin menetap dalam kehidupan semi-nyaman. Dia
mencoba yang terbaik - jika pekerjaan itu layak dilakukan, itu layak dilakukan
dengan baik. Dia seorang ngotot untuk ketepatan waktu: Bagaimanapun, itu adalah
burung
awal yang menangkap cacing, bukan? Pendekatannya tidak dibagi oleh
kelas, terlepas dari dia mengatakan kepada mereka bahwa awal tidur dan awal
untuk bangkit, membuat pria sehat, kaya dan bijaksana. Sikap mereka adalah: lebih
baik terlambat daripada tidak sama sekali. Dorongan Robin tentang 'jahitan
demi waktu menghemat sembilan' selalu jatuh di telinga yang tuli.
Tidak ada yang begitu tuli seperti mereka yang tidak mau mendengar, pikirnya.
Robin membenci kebisingan. 'Silence is Golden'
dia akan berteriak, diikuti dengan 'lakukan apa yang saya katakan, bukan
seperti yang saya lakukan'. Dia kemudian menjelaskan: lidah yang masih tenang
membuat kepala yang bijaksana, sementara pembuluh yang kosong membuat
suara paling banyak. ‘Ingat’ katanya, memikirkan ketepatan
gramatikal, ‘paling tidak kata, paling cepat diperbaiki’. Dengan
dorongan, tambahnya, ‘ajukan pertanyaan konyol, Anda akan mendapatkan jawaban
konyol’.
Robin punya masalah lain. Dia tidak mengerti kerja
kelompok. Apa metode di sini, dia bertanya-tanya, meskipun dia mengakui bahwa ada
lebih dari satu cara untuk menguliti kucing. Tetap saja, dia
mencobanya. Jika pada awalnya Anda tidak berhasil, coba, coba, coba lagi. Dia
setuju bahwa latihan menjadi sempurna. Tetapi berlatih dalam apa?
Murid-muridnya sepertinya telah mengadopsi motto 'kebodohan adalah kebahagiaan'.
Dia menguliahi mereka untuk membuat jerami sementara matahari
bersinar, dan menyerang selagi setrika panas.
Begitu dia meninggalkan ruangan, mereka mempraktikkan ini. Itu masalah ketika
kucing pergi, tikus akan bermain.
Robin kembali gempar. Ini meningkat ketika dia
menjelaskan bahwa dia lupa menandai pekerjaan rumah. Tidak pernah hujan tetapi menuangkan,
pikirnya. ‘Saya tahu’ dia berkata, ‘ambil esai Anda dan tandai satu sama lain’.
Diam diikuti, dan dia mulai memberi selamat pada dirinya sendiri. Tapi suara
batinnya mengingatkannya - jangan hitung ayam Anda sebelum menetas.
Tapi pikirkan keuntungannya, balas Robin, banyak tangan membuat pekerjaan ringan.
Ah, tapi terlalu banyak koki yang merusak kaldu, jawab suara itu.
Para siswa menyelesaikan tugas mereka, dan memanggil
tanda yang telah mereka berikan satu sama lain. Mereka semua sama! Melihat
percaya, Robin bergumam. Tapi, setelah beberapa saat, dia menyerah.
Itu soal sekali digigit dua kali malu. Dia tahu: jika Anda ingin
sesuatu dilakukan dengan baik, lakukan sendiri. Para siswa Robin, di sisi lain,
saling memuji satu sama lain - pikiran hebat juga berpikiran sama!
Memecat mereka, Robin menegur dirinya sendiri — lihat
sebelum Anda melompat lain kali. Kemudian melihat jam tangannya,
dia melihat bagaimana waktu berlalu. Dia bergegas ke ruang staf, di mana burung-burung
berbulu berkumpul bersama. Dia mendiskusikan masalah pengajarannya
dengan anggota staf. Dia berkata, “Saya tidak percaya pena itu lebih kuat daripada
pedang. Jika Anda menghindarkan tongkat itu, Anda akan memanjakan anak itu.
”
"Tidak mungkin," kata para guru lainnya.
"Cinta mengalahkan segalanya."
[Translated by Me]
Guru Bahasa Inggris kami disebut Robin
Guru bahasa Inggris kami disebut Robin. Lagi pula, apa
yang ada di nama tersebut? Dia telah belajar bahwa seseorang tidak dapat hidup
dengan roti saja. Dia telah menikahi wanita yang tahu cara mengambil hati
seorang pria yaitu dari perutnya. Dia gemuk.
Robin memutuskan tidak ada kata terlambat untuk
belajar. Dia menjadi seorang guru bahasa Inggris. Dia ingat perkataan ayahnya:
siapa yang bisa, lakukan; siapa yang tidak bisa, ajarkan. Oh, dia berpikir,
tidak ada orang bodoh seperti orang tua yang bodoh. Dia mengabaikan ayahnya,
dan mengambil ELT. Tidak apa-apa, dia berpikir, mencintai uang adalah akar dari
segala keburukan. Ya, hal yang terbaik dalam hidup adalah gratis! Dalam hati
dia berkata, sebutkan satu! Robin merespon dengan cepat – kesehatan lebih
penting dari kekayaan. Ingat, Anda tidak bisa membawa uang saat Anda meninggal.
Suara hatinya terus menyiksanya. “Kamu tidak punya uang untuk diambil! Semua
kilauan itu bukan emas, balas Robin. Tetapi kamupun belum mempunyai kilauan
itu, lanjut suara hatinya. Robin tidak terpancing kali ini.
Robin menetap dalam kehidupan semi-nyaman. Dia
mencoba yang terbaik – jika pekerjaan itu layak dilakukan, itu layak dilakukan
dengan baik. Dia adalah orang yang penuntut dengan ketetapan waktu: Lagi pula, burung
yang datang lebih awal dapat menangkap cacing bukan? Pendekatannya
tidak dibagikan di dalam kelas, meskipun mengatakannya pada mereka bahwa tidur
lebih awal dan bangun lebih awal, membuat seseorang menjadi sehat, kaya dan
bijaksana. Sikap mereka: lebih baik terlambat daripada tidak sama
sekali.
Robin membenci kebisingan. Dia akan berteriak ‘Diam
adalah emas’, diikuti dengan ‘lakukan seperti yang kukatakan, bukan
seperti yang kulakukan’. Lalu dia
menjelaskan: lidah yang diam membuat kepala yang bijak, sedangkan tong
kosong nyaring bunyinya. ‘Ingat’
katanya, berpikir ketepatan gramatikal, ‘sedikit bicara, cepat selesainya’.
Dengan dorongan, tambahnya, ‘tanyakan pertanyaan yang konyol, kamu akan
mendapat jawaban yang konyol’.
Robin mempunyai masalah lain. Dia tidak mengerti
kerja dalam grup. Metode apa yang dipakai di sini, dia bertanya-tanya, walaupun
dia mengakui ada banyak jalan menuju Roma. Tetap saja, dia mencobanya. Jika
awalnya Anda tidak berhasil, coba, coba, dan coba lagi. Dia setuju dengan latihan
membuat sesuatu jadi sempurna. Tetapi latihan dalam hal apa? Para
siswanya sepertinya telah mengadopsi motto ‘ketidaktahuan adalah
kebahagiaan’. Dia mengajari mereka untuk membuat jerami sementara
matahari bersinar, dan gunakan kesempatan dengan baik.
Setelah dia pergi meninggalkan ruangan, mereka mempraktikannya. Tinggal masalah
saat
kucing pergi, tikus akan bermain.
Robin kembali gempar. Hal ini meningkat ketika dia menjelaskan
bahwa dia lupa menandai pekerjaan rumah. Nasib buruk datangnya tampak bersamaan,
dia berpikir. ‘Aku tahu’ katanya, ‘kerjakan esaimu dan tandai satu sama lain’.
Diikuti diam, dan dia mulai memberi selamat pada dirinya. Tetapi suara hatinya
mengingatkannya – jangan terlalu percaya diri sebelum sesuatu hal terjadi.
Tetapi memikirkan keuntungannya, balas Robin, banyak tangan membuat
pekerjaan menjadi ringan. Ah, tetapi terlalu banyak koki merusak
kaldu, balas suara hatinya.
Para siswa menyelesaikan tugasnya, dan menyebutkan
tanda yang mereka tandai masing-masing. Mereka semua sama! Melihat sama dengan percaya,
gumam Robin. Tetapi, setelah beberapa saat, dia menyerah. Itu masalah jangan
pernah melakukan kesalahan dua kali. Dia tahu: jika kamu ingin
sesuatu dilakukan dengan baik, lakukanlah sendiri. Siswa Robin, di sisi lain,
saling memuji satu sama lain – orang-orang yang pintar cenderung
memiliki pikiran yang sama!
Membubarkan mereka, Robin menegur dirinya – lihatlah
sebelum meloncat. Lalu melihat jam tangannya, dia menyadari waktu
berjalan. Dia bergegas menuju ruang staf, dimana setiap makhluk hanya berhimpun
dengan sesamanya. Dia berdiskusi tentang masalah mengajarnya kepada
para staf. Dia berkata, “Saya tidak percaya pena lebih tajam daripada
pedang. Kasih akan anak dipertangis, kasih akan istri dipertinggalkan.”
“Tidak mungkin,” kata guru-guru lainnya. “Cinta
menaklukkan semua.”